Menghitung Rasa Syukur


Harus ada di dalam hati seorang wanita rasa syukur terhadap apapun yang dimilikinya, salah satunya adalah rasa syukur terhadap pemberian suami. Tanpa adanya rasa syukur, maka hati seorang wanita akan menjadi gelap, sesak dan menuntut suami dengan sebuah tuntutan demi tuntutan yang lainnya. Tak akan pernah terpuaskan.

Lalu, bagaimana misalnya kalau tuntutan itu tiada terwujud, sedangkan rasa syukur telah mengering dari hati?

Alkisah, ada seorang wanita. Secara materi, keluarganya cukup mapan, dibandingkan dengan keluarga lain dan juga keluarga saya sendiri yang untuk membeli sekilo beras sering kelimpungan. Ia memiliki seorang suami yang menurut penglihatan saya seorang pekerja keras. Selain seorang pegawai bergaji, suami ini juga mau bekerja keras di kebun, mulai dari nol. Sekarang, karena keuletannya ia memiliki kebun karet berhektar-hektar yang produktif. Dan semua hasilnya dipegang oleh istri. Menyebabkan istri ini mudah saja jika ingin membeli baju-baju baru atau perhiasan. Dan gampang saja bagi keluarga ini jika mengingingkan benda-benda perabot rumah tangga, seperti kulkas misalnya. Seumpama sim salabim, maka langsung saja jadi! Seharusnya, istri tersebut bersyukur. Seharusnya istri tersebut tidak lagi berkata-kata kepada suaminya bahwa ia tak pernah dibelikan apa-apa. Seharusnya istri tersebut tidak mencaci maki suami dan menghina dengan beragam macam hinaan. Seharusnya....! Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.

Dengan berlinang air mata, lelaki paruh baya itu bercerita kepada saya tentang buruknya perilaku istrinya kepada dirinya. Sebut saja seperti menjegal kaki dan mendorong punggung hingga terjatuh, mengata-ngatainya sebagai bangkai, atau memisahkan diri dari tempat tidur ketika ia mendekat di malam hari. Dengan berlinang air mata, lelaki itu bercerita bagaimana ketika marah istrinya mengungkit-ngungkit pemberian orang tuanya di masa silam kepada mereka dan mengungkit-ngungkit perselingkuhannya di masa silam, menuduh ia tak mengganti mas kawin yang dulu terjual untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, atau bagaimana istrinya tak pernah sekalipun berterimakasih atas apa yang telah ia beri, atau bagaimana lelaki itu bercerita tentang tuntutan cerai yang selalu terucap dari istrinya. Bagaimana istrinya tak pernah ijin ketika keluar rumah. Lelaki malang, bukankah demikian pemikiran kita?

Rasa syukur, sebenarnya itulah yang dibutuhkan oleh wanita jika ia ingin bahagia. Sehingga ia akan mampu melihat segala kebaikan suami kepadanya. Yang jika dihitung-hitung, akan membuat kita merasa malu hati jika menyakiti hatinya, dan serasa membuat kita mau bersimpuh di kakinya, meminta maaf untuk segala kesalahan. Dan menyayanginya, mengutamakan kebahagiannya dan ridhonya. Lalu menjadikan hati kita ikhlas untuk menerima segala kekurangannya. Toh...Allah telah mentakdirkanya untuk kita. Kehadirannya adalah sementara yang dengannya kita akan diuji, termasuk dalam golongan orang-orang yang berkeluh kesah ataukah orang yang syukur dan sabar. 

Tiada guna mengingat-ngingat kesalahan suami kita, karena seharusnya kita sadar bahwa tiada manusia yang sempurna, tiada luput dari kekurangan dan dosa. Suami kita juga bukan malaikat ataupun dewa yang mesti sanggup memenuhi semua keinginan kita, yang tingkah lakunya mesti harus sesuai dengan keinginan kita. Suami bukan juga manusia tanpa hati yang tidak merasa sakit hati jika kita sakiti. Suami adalah manusia biasa, sama seperti kita. Yang membutuhkan kasih sayang dan cinta, pengertian, dukungan, dan lain sebagainya. Suami istri, selayaknya adalah sekawan perjuangan untuk menggapai ridho Allah.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS